MAKALAH
PESERTA DIDIK
Disusun untuk
memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu
Pendidikan Islam semester genap
Dosen pengampu :
Dra. Hj. Nur Rohmah, M.Ag
Oleh:
Aeni Rokhmatun Nisa (12490053)
JURUSAN
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Salah satu komponen yang sangat
penting dalam system pendidikan adalah adanya peserta didik, Sebab seseorang
tidak bisa dikatakan sebagai pendidik apabila tidak ada yang dididiknya.
Peserta didik adalah orang yang
memiliki potensi dasar yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara
fisik maupun psikis, baik pendidikan itu di lingkungan keluarga, sekolah maupun
di lingkungan masyarakat dimana anak tersebut berada.
Sebagai peserta didik juga harus
memahami kewajiban, etika serta melaksanakanya. Kewajiban adalah sesuatu yang
wajib dilakukan atau dilaksanakan oleh peserta didik. Sedangkan etika adalah aturan perilaku, adat
kebiasaan yang harus di taati dan dilaksanakan oleh peserta didik dalam proses
belajar.
Di sinilah peran pendidik
diperlukan, karena eksistensi seorang pendidik akan sangat membantu,
mengarahkan dan mengembangkan beragam potensi yang dimiliki peserta didik,
serta membimbingnya menuju kedewasaan. Dalam makalah ini, kami mencoba
menghidangkan persoalan-persoalan diatas guna mencapai tujuan pendidikan yang
diharapakan, khususnya dalam pendidikan Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hakikat peserta didik ?
2. Apa tugas dan kewajiban peserta
didik ?
3. Bagaimanakah kode etik dari peserta
didik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Peserta Didik
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”,
maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah
peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang
tidak hanya melibatkan anak-anak , tetapi juga orang-orang dewasa. Sementara
istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak.
Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak
hanya di sekolah, tapi juga lembaga
pendidikan di masyarakat.[1]
Peserta didik sering kali disebut dengan thalib.
Secara etimologi, thalib berarti “orang yang mencari”, maksudnya
adalah orang yang mencari ilmu. Istilah thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna
daripada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat
individu yang sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan.
Di sisi yang sama, hakikat peserta didik menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 adalah anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Lebih dari itu,
secara filosofis, hakikat peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki fitrah
jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan. Dari segi rohaniah,
ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu
dikembangkan.[2]
Dengan kata lain, hakikat peserta didik adalah objek dan
subjek pendidikan yang memiliki fitrah, potensi dan kodrat tertentu baik secara
fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi
tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik. Sebab sejak manusia dilahirkan ke
dunia ia telah memiliki fitrah jasmani dan rohani (akal). Namun tidak sedikit
manusia yang belum mampu memanfaatkan kedua potensi yang dimilikinya secara
optimal.
Istilah peserta didik pada pendidikan formal biasanya
dikenal dengan nama murid atau siswa atau pelajar; pada pendidikan pondok
pesantren disebut santri; pada pendidikan keluarga disebut anak dan pada
pendidikan non formal atau masyarakat disebut peserta ajar atau warga belajar.[3]
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus
sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek
pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan
dalam proses pendidikan. Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai
karakteristik peserta didik adalah:[4]
1. Peserta didik bukan miniatur orang
dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak
boleh disamakan dengan orang dewasa.
2. Peserta didik memiliki kebutuhan dan
menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin.
3. Peserta didik memiliki perbedaan
antara individu dengan individu yang lain,baik perbedaan yang disebabkan dari
faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi jasmani,
intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
4. Peserta didik merupakan subjek dan
objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif serta
produktif.
5. Peserta didik mengikuti
periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta
tempo dan iramanya.
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai
tujuan yang diinginkan maka setiap peserta didik hendaknya, senantiasa menyadari
tugas dan kewajibannya. Tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi peserta didik
diantaranya adalah:
- Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
- Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keimanan.
- Bersedia mencari ilmu, termasuk rela meninggalkan keluarga dan tanah air.
- Peserta didik wajib menghormati dan memuliakan pendidiknya.
- Peserta didik wajib belajar secara tekun dan bersungguh-sungguh
- Saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama peserta didik dan bergaul baik terhadap pendidik.
- Tidak meremehkan suatu cabang ilmu.
- Jangan melalaikan waktu belajar dengan membuang-buang waktu. Gunakan waktu seefesien mungkin.
- Menyadari akan tanggung jawabnya sebagai peserta didik, dan lain sebagainya.
C.
Kode Etik Peserta Didik
Kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan peserta didik dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung
maupun tidak langsung. AlGhazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:[5]
1. Belajar dengan niat ibadah dalam
rangka taqorrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang
tercela dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi
dibandingkan masalah ukhrowi. Artinya, belajar tak semata-mata untuk
mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar untuk berjihad melawan kebodohan
demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan Allah dan
manusia.
3. Bersikap tawadlu’ dengan cara
meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia
cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya,
termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan
yang timbul dari berbagai aliran.
5. Mempelajari ilmu – ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk
duniawi.
6. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga peserta didik memiliki
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga
mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang
dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia akhirat.
11.
Peserta didik harus tunduk pada nasehat
pendidik.
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik
dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya
tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya:
الا لا تنال العلم إلا بستة # سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطباروبلغة # وإرشاد أستاذ و طول الزمان
Artinya: “Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena
enam syarat; aku akan menjelaskan enam syarat itu padamu, yaitu kecerdasan,
hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa
yang panjang (kontinu)”.
Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah
mencakup enam hal, yaitu:[6]
Pertama, memiliki kecerdasan (dzaka); yaitu
penalaran, imajinasi, wawasan, pertimbangan, dan daya penyesuaian, sebagai
proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Kedua, memiliki
hasrat (hirsh); yaitu kemauan, gairah, dan motivasi yang tinggi dalam mencari
ilmu, serta tidak puas terhadap ilmu yang diperolehnya. Ketiga, bersabar
dan tabah (ishtibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar, walaupun banyak
rintangan dan hambatan. Keempat, mempunyai seperangkat modal dan sarana
(bulghoh)yang memadai dalam belajar. Kelima, adanya petunjuk pendidik
(irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap apa yang
dipelajari. Keenam, masa yang panjang (thul az-zaman); yaitu belajar
tiada henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat,
minal mahdi ila lahdi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Peserta
didik objek dan subjek pendidikan yang
memiliki fitrah, potensi dan kodrat tertentu baik secara fisik maupun psikis,
yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat
membutuhkan pendidikan dari pendidik.
Etika peserta didik yang senantiasa harus dijalankan
adalah belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqorub
kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut
untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela,
menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan, bersikap tawadhu,
sabar dan tabah dalam menuntut ilmu.
Tugas dan kewajiban peserta didik
hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu, tujuan belajar
hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keimanan, memiliki
kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat, wajib
menghormati pendidiknya, peserta didik harus belajar secara sungguh-sungguh dan
jangan pernah meremehkan suatu ilmu.
B. SARAN
Bagi peserta didik harus senantiasa
menjalankan tugas dan kewajiban serta etika-etika yang ada dalam menuntut ilmu,
supaya dalam menuntut ilmu mendapatkan kemudahan dan dapat tercapai apa tujuan
dari peserta didik itu sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Muh.
Nafis, Muntabihun. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras, 2011.
Siswoyo,
Dwi, dkk. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Mukodi,
M.SI. Pendidikan Islam Terpadu. Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011.
Uhbiyati,
Nur, Hj.,Dra. Ilmu Pendidikan Islam I. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
[1]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006),hlm.103.
[2]
Samsul Nizar, Fisafat Pendidikan Islam: Historis,Teoritis dan Praktis,(Jakarta:Ciputat
Pers,2002),hlm.47.
[3]
Tim Penulis, Dwi Siswoyo dkk., Ilmu Pendidikan (Yogyakarta:UNY Press,
2008)
[4]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:Kencana
Prenada Media, 2006),hlm.104-106.
[5]
Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,1998), hlm113-114.
[6]
Ibid., hlm.116-119. Lihat dalam Burhan al-Islam al-Zarnuzi, Ta’lim Muta’allim
fi Thariq Al-Ta’allum (Surabaya: Salim Nabhan, tt), hlm. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar