Jumat, 28 Maret 2014

Makalah Ilmu Pendidikan Islam "Peserta Didik"


MAKALAH
PESERTA DIDIK
Disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam semester genap
Dosen pengampu : Dra. Hj. Nur Rohmah, M.Ag


Oleh:
Aeni Rokhmatun Nisa (12490053)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu komponen yang sangat penting dalam system pendidikan adalah adanya peserta didik, Sebab seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pendidik apabila tidak ada yang dididiknya.
Peserta didik adalah orang yang memiliki potensi dasar yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis, baik pendidikan itu di lingkungan keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat dimana anak tersebut berada.
Sebagai peserta didik juga harus memahami kewajiban, etika serta melaksanakanya. Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilakukan atau dilaksanakan oleh peserta didik. Sedangkan etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan yang harus di taati dan dilaksanakan oleh peserta didik dalam proses belajar.
Di sinilah peran pendidik diperlukan, karena eksistensi seorang pendidik akan sangat membantu, mengarahkan dan mengembangkan beragam potensi yang dimiliki peserta didik, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Dalam makalah ini, kami mencoba menghidangkan persoalan-persoalan diatas guna mencapai tujuan pendidikan yang diharapakan, khususnya dalam pendidikan Islam.

B.  RUMUSAN MASALAH
1. Apa hakikat peserta didik ?
2. Apa tugas dan kewajiban peserta didik ?
3. Bagaimanakah kode etik dari peserta didik ?




BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Peserta Didik
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak , tetapi juga orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah, tapi juga  lembaga pendidikan di masyarakat.[1]
Peserta didik sering kali disebut dengan thalib. Secara etimologi, thalib berarti “orang yang mencari”, maksudnya adalah orang yang mencari ilmu. Istilah thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna daripada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan.
Di sisi yang sama, hakikat peserta didik menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Lebih dari itu, secara filosofis, hakikat peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[2]
Dengan kata lain, hakikat peserta didik adalah objek dan subjek pendidikan yang memiliki fitrah, potensi dan kodrat tertentu baik secara fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik. Sebab sejak manusia dilahirkan ke dunia ia telah memiliki fitrah jasmani dan rohani (akal). Namun tidak sedikit manusia yang belum mampu memanfaatkan kedua potensi yang dimilikinya secara optimal.
Istilah peserta didik pada pendidikan formal biasanya dikenal dengan nama murid atau siswa atau pelajar; pada pendidikan pondok pesantren disebut santri; pada pendidikan keluarga disebut anak dan pada pendidikan non formal atau masyarakat disebut peserta ajar atau warga belajar.[3]
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan. Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:[4]
1.    Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa.
2.    Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin.
3.    Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain,baik perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
4.    Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif serta produktif.
5.    Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.

Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka setiap peserta didik hendaknya, senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya. Tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi peserta didik diantaranya adalah:
  1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
  2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keimanan.
  3. Bersedia mencari ilmu, termasuk rela meninggalkan keluarga dan tanah air.
  4. Peserta didik wajib menghormati dan memuliakan pendidiknya.
  5. Peserta didik wajib belajar secara tekun dan bersungguh-sungguh
  6. Saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama peserta didik dan  bergaul baik terhadap pendidik.
  7. Tidak meremehkan suatu cabang ilmu.
  8. Jangan melalaikan waktu belajar dengan membuang-buang waktu. Gunakan waktu seefesien mungkin.
  9. Menyadari akan tanggung jawabnya sebagai peserta didik, dan lain sebagainya.

C. Kode Etik Peserta Didik
Kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan peserta didik dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. AlGhazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:[5]
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqorrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
2.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi. Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar untuk berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan Allah dan manusia.
3.      Bersikap tawadlu’ dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4.      Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5.      Mempelajari ilmu – ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
6.      Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju  pelajaran yang sukar.
7.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya,  sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8.      Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9.      Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.  Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia akhirat.
11.  Peserta didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
            Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya:
الا لا تنال العلم إلا بستة # سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطباروبلغة # وإرشاد أستاذ و طول الزمان

Artinya: “Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan menjelaskan enam syarat itu padamu, yaitu kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinu)”.
Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah mencakup enam hal, yaitu:[6]
Pertama, memiliki kecerdasan (dzaka); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan, pertimbangan, dan daya penyesuaian, sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Kedua, memiliki hasrat (hirsh); yaitu kemauan, gairah, dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak puas terhadap ilmu yang diperolehnya. Ketiga, bersabar dan tabah (ishtibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan hambatan. Keempat, mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghoh)yang memadai dalam belajar. Kelima, adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap apa yang dipelajari. Keenam, masa yang panjang (thul az-zaman); yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, minal mahdi ila lahdi.





BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
   Peserta didik objek dan subjek pendidikan yang memiliki fitrah, potensi dan kodrat tertentu baik secara fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik.
Etika peserta didik yang senantiasa harus dijalankan adalah belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqorub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela, menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan, bersikap tawadhu, sabar dan tabah dalam menuntut ilmu.
Tugas dan kewajiban peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu, tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keimanan, memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat, wajib menghormati pendidiknya, peserta didik harus belajar secara sungguh-sungguh dan jangan pernah meremehkan suatu ilmu.
B. SARAN
Bagi peserta didik harus senantiasa menjalankan tugas dan kewajiban serta etika-etika yang ada dalam menuntut ilmu, supaya dalam menuntut ilmu mendapatkan kemudahan dan dapat tercapai apa tujuan dari peserta didik itu sendiri





DAFTAR PUSTAKA
Muh. Nafis, Muntabihun. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras, 2011.
Siswoyo, Dwi, dkk. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Mukodi, M.SI. Pendidikan Islam Terpadu. Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011.
Uhbiyati, Nur, Hj.,Dra. Ilmu Pendidikan Islam I. Bandung: Pustaka Setia, 1998.



[1] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media,       2006),hlm.103.
[2] Samsul Nizar, Fisafat Pendidikan Islam: Historis,Teoritis dan Praktis,(Jakarta:Ciputat Pers,2002),hlm.47.
[3] Tim Penulis, Dwi Siswoyo dkk., Ilmu Pendidikan (Yogyakarta:UNY Press, 2008)
[4] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:Kencana Prenada Media, 2006),hlm.104-106.
[5] Ramayulis,Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,1998), hlm113-114.
[6] Ibid., hlm.116-119. Lihat dalam Burhan al-Islam al-Zarnuzi, Ta’lim Muta’allim fi Thariq Al-Ta’allum (Surabaya: Salim Nabhan, tt), hlm. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar